Pudarnya Kejujuranmu
Hari terakhir Ujian Nasional (UN). Huda kembali diminta
“mencoret-coret” lembaran soal sembari mengawasi siswa kelas VI yang tengah
melaksanakan Ujian Nasional di Sekolah Dasar tempatnya mengabdi. Tak ada
prasangka dan curiga sedikitpun. Dalam waktu singkat, Huda selesai mengisi
jawaban. Dengan santai, ditaruhnya lembaran soal penuh coretan itu di atas meja
kerjanya.
“Lembaran soal ini saya pinjam ya Pak” pinta seorang guru
senior sembari mengambil lembaran soal beserta jawaban Huda di dalamnya. Huda
tersenyum mengabulkan permintaan guru kelas VI itu. Sekali lagi, tak ada
prasangka ataupun curiga yang menyelimuti hati.
Jam menunjukkan pukul 09.30 waktu setempat. Lonceng berbunyi
pertanda ujian selesai. UN untuk periode tahun ini usai sudah. Semua siswa
berhamburan keluar kelas. Terukir senyum di wajah mereka. Banyak makna dari
senyum itu. Bagi Huda, senyum tersebut menyiratkan kebahagian yang dirasa
siempunya selepas hilangnya stress yang menemani kepala para siswanya beberapa hari
belakangan. Huda menyalami satu persatu siswanya yang berpamitan pulang. Di
depan sekolah, Huda menatap nanar langkah siswanya hingga menghilang ditelan
rimbunnya pepohonan karet. Dalam diam Huda kembali menuju bangunan rangkap
empat.
Bangunan rangkap empat merupakan sebutan Huda untuk salah
satu bangunan sekolah dasar tempat dia mengajar. Di awal pendiriannya, bangunan
itu dimaksudkan untuk perpustakaan sekolah. Seiring berjalannya waktu, selain
untuk perpustakaan, bangunan berukuran 7×5 meter itu juga difungsikan sebagai
kantor dan dapur sekolah plus sebagai tempat tinggal Huda, guru bantu dari
tanah Jao. Dengan begitu, bangunan mungil itu mempunyai empat fungsi sekaligus:
kantor guru, perpustakaan dan dapur sekolah ditambah rumah tinggal bagi Huda. Tak
salah bila bangunan itu disebut sebagai bangunan empat rangkap.
Dari kejauhan, kelihatan beberapa orang guru berseliweran
keluar masuk bangunan rangkap empat seolah sedang mengawasi sesuatu. Huda
melangkahkan kaki menembus batas pintu. Matanya menangkap guru-guru lagi
berkumpul di pojok perpustakaan. Huda penasaran. Seperti biasanya, lisannya
meluncurkan kata-kata kelakar, “Hayu… lagi ngapain?” ucapnya menuju ke arah
kerumunan guru. Gerombolan guru yang dituju salah tingkah. Dengan buru-buru
mereka menyembunyikan sesuatu. Raut bahagia dan senyum di wajah Huda hilang
seketika. Penasarannya berubah menjadi curiga dan prasangka.
“Hmm… Ini… ada siswa yang ejaan namanya salah di LJK”
tanggapan seorang guru pada Huda sesaat setelah pertanyaan diajukan.
“Ada juga yang salah menuliskan nama sekolahnya” guru lain
menambahkan.
“Supaya bisa ‘terbaca’ di komputer nantinya, kami berusaha
memperbaiki ejaan dan penulisan yang salah itu” keterangan mereka semua
menambah kecurigaan Huda. Dia berdiri mematung menatap para guru yang semakin
salah tingkah dihadapannya. Ruangan yang dipenuhi tumpukan buku itu sunyi
seketika.
Ada siswa salah menuliskan namanya? Sejak kapan siswa kelas
enam lupa akan nama sekolahnya? Dan tak bisa menuliskan namanya sendiri?
Bukankah semua LJK seharusnya sudah di “segel” lagi habis ujian? Ada apa ini?
Huda tak habis pikir. Di benaknya terukir tanda tanya. Tak
mampu dia mengungkapkan bermacam pertanyaan itu. kalaupun bisa, pasti dia akan
diserang dan dikucilkan di keterasingan dan kesendirian ini. Kakinya lunglai.
Hatinya terenyuh. Apalagi setelah diketahuinya bahwa bukan ejaan nama siswa
yang salah atau siswa salah menuliskan nama sekolahnya, melainkan jawaban di
LJK siswa “diperbaiki” oleh gerombolan guru yang tak bertanggung jawab di pojok
perpustakaan itu. Dan yang sangat disayangkan oleh Huda ialah LJK tersebut
“diperbaiki” dengan menggunakan hasil “coret-coretannya” diatas lembaran soal
yang diminta selama ujian berlangsung. Pilu…
—
“What? Bagi-bagi kunci jawaban?”
“Iya, Bang. Bahkan ada teman yang tidak lulus karena
menerima kunci jawaban yang salah”
“Kamu gimana? Kelulusanmu juga menggunakan kunci jawaban
itu?”
“Saketek…”
“APA?”
“Ya, enggak lah, Bang! Hehehe”
Sambungan telpon ditutup. Huda mengatupkan bibir setelah
mendapat informasi dari adiknya yang barusan menerima tanda lulus SMA. Kejadian
yang dialami adiknya mengingatkannya pada masa lalu. Masa ketika seragam putih
abu-abu masih menempel di badannya. Menjelang Ujian Akhir Nasional (UAN)
dilangsungkan. Siswa pusing dan para guru sibuk sendiri. Mereka kalang kabut
mengumpulkan para siswanya “mencari jalan pintas” supaya semua muridnya lulus
UAN. Jika siswa berkomentar bahwa al-jimatu minal sukses itu tak diperbolehkan.
Guru berkilah dengan berkata “Tak, apa-apa” sambil menebar senyum menyakinkan
penuh wibawa palsu. Miris…
—
“Sama saja, Da. Di tempat saya juga seperti itu. Ada aksi
bagi-bagi kunci jawaban UN. Bahkan semua itu dilakukan atas instruksi dari
kepala sekolahnya.” Nuzul, teman satu profesi dengan Huda memberi kesaksian
bahwa kecurangan UN tidak hanya terjadi di sekolah penempatan Huda, melainkan
juga menimpa sekolahnya.
“Tapi, saya menolak permintaan para guru untuk menjawab
lembaran soal UN, sebab saya sudah tahu bahwa mereka akan menggunakannya buat
‘menolong’ para siswanya” aku Nuzul.
“Itulah ketelodaranku, Zul” Huda menarik napas panjang. Rasa
sesal mengisi ruang dada dengan goresan luka menyayat ulu hatinya. Ditatapnya
rembulan di angkasa yang perlahan dihalangi awan kelam.
“Huda…” Nuzul memecah keheningan. Dia tahu bahwa sahabatnya
yang satu ini memiliki emosi labil yang butuh beberapa waktu untuk memulihkan
emosinya. “Itu bukan kesalahanmu. Apalagi kamu tidak tahu bahwa ‘jawabanmu’ itu
akan disalahgunakan” Nuzul memperbaiki posisi duduknya menghadap kawannya.
“Mereka telah memanipulasi nilai, Zul. Dan itu berarti
mengajarkan anak didik berbuat tercela, kan!!?” Suara Huda kesal. “Huda…
Begini, Manipulasi nilai itu bukan kehendak guru murni. Manipulasi terjadi
karena ada tekanan dari pejabat di atas. Kalau kita tanya pada guru siapa yang
menekan. Guru menjawab kepala sekolah. Kepala sekolah ditanya, menjawab ditekan
kepala dinas kecamatan” Nuzul mencoba menenangkan sahabatnya.
“Manipulasi nilai seperti itu berjalan massif sewaktu ujian
Nasional berlangsung, Da” pelan Nuzul memberi keterangan. “Dan jika ditelusuri,
pasti ujung-ujungnya sampai pada pejabat provinsi”
“Tumben…” Senyum Huda mekar menatap kawannya.
“Apanya yang tumben?” Nuzul heran.
“Kamu bijak sekali hari ini, hehehe”
“Emang dari dulu saya bijak, kan?” Sikut Nuzul.
“Kata siapa?”
“Kata saya, lah. hahaha” Nuzul membela diri tak mau kalah.
Beberapa saat dua pemuda itu tertawa puas tanpa beban.
“Benar kamu, Zul” Ucapan Huda menghentikan tawa. “Aku ingat
saat hari pertama try out di sekolahku. Ketika itu aku disuruh keluar kantor
oleh kepala sekolah dengan alasan untuk mengawasi siswa yang sedang try out.
Padahal aku tak dijadwalkan sebelumnya. Aku tak menaruh curiga. Langsung saja
perintah itu kulaksanakan. Rupanya para guru yang berkumpul di ruangan kantor
itu tengah membicarakan strategi untuk meluluskan semua siswanya dengan
cara-cara yang tak benar sebagaimana yang telah kusaksikan itu.”
“Ssttt… Jangan Su’udhon dulu. Kamu tahu darimana bahwa para
guru tersebut tengah membicarakan hal demikian? Awas, prasangka itu dosa, lho…”
mimik Nuzul penuh selidik. “Ada seorang guru yang keceplosan menceritakan hal
tersebut padaku beberapa hari setelah try out usai” Kenang Huda. Anggukan Nuzul
kembali siap mengiringi curhatan Huda.
“Oya, Zul. Sebenarnya apa sih tujuan semua ini?” Huda berlagak
bodoh.
“Maksudmu manipulasi nilai di sekolah-sekolah?” Nuzul balik
bertanya.
“Iya”
“Manipulasi itu dilakukan supaya nilai peserta didik tampak
baik, sehingga akan membawa nama baik sekolah. Jika semua sekolah meraih nilai
baik, tentunya akan membawa nama baik provinsi. Kalau sudah begitu, pastinya
akan menjadi kredit politik bagi pejabat daerah”
“Oh, Begitu? Semestinya guru-guru tersebut memberikan nilai
apa adanya, sesuai kemampuan siswanya ya, Zul?”
“Seharusnya begitu. Tetapi, guru-guru beralasan bahwa hal
itu telah menjadi perintah atasan. Jadi, hasil ujian tersebut tidak
mencerminkan kemampuan anak didik yang sebenarnya, bahkan malah membodohi”
“Kasihan…”
“Hmm… Zul!”
“Apa lagi” Nuzul menatap gerimis yang siap menemani malam.
“Kamu benar-benar hebat hari ini memberi uraian
sedetail-detailnya”
“Nuzul gitu” kembang kempis hidung Nuzul, bangga.
“Btw, kamu baca buku apa semalam? hehehe” ejekan Huda
dimulai.
“Buku apa aja boleh. Hahaha. Nah… sepertinya sekarang
emosimu telah pulih, Kawan. Yuk, Isya dulu, keburu malam. Ingat, kita masih
punya waktu untuk merubah itu semua, Insya Allah.” Nuzul bangkit dari duduknya,
mengakhiri pembicaraan di malam pertemuan itu diikuti derasnya hujan membasahi
bumi yang gersang oleh ketidakjujuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar