CERITA PENDEK
UJIAN NASIONAL, DILEMA
SANG GURU
DISUSUN OLEH :
NAMA : NURMAN
NIM : 824 512 132
KELAS : I. B
UNIVERSITAS TERBUKA
UPBJJ PALEMBANG
CABANG KOTA PAGARALAM
TAHUN 2014
UJIAN
NASIONAL, DILEMA SANG GURU
Di
luar terdengar lagu dangdut murahan dibunyikan keras-keras. Sedangkan aku.. aku
menjejalkan lagu korea ke telingaku. Bukan tidak mencintai karya negeri
sendiri. Tapi cinta memang tidak bisa dipaksakan akan jatuh kemana. Hari-hari
sudah cukup menekan disini tanpa lagu-lagu dangdut itu. Sedikit pelepas ketegangan
hanya itu yang aku butuhkan. Alunan lembut suara IU… sejenak… bisa membuatku
melupakan badai yang sedang berkecamuk di hati, pikiran dan tubuhku.
Entah
kemana idealisme itu sudah kulemparkan. Mungkin seperti batu hitam yang jatuh
ke laut dalam atau seperti bumerang milik suku Aborigin yang kini sedang
berbalik menyerangku. Yang kulakukan adalah pengkhianatan. Bukan terhadap orang
lain, tapi terhadap diriku sendiri. Apakah rupiah itu? Atau memang kelemahan
yang sudah lama ada bahkan sebelum idealisme ku menemukan namanya. Hanya karena
permintaan menghiba dari seorang kepala sekolah yang juga menjadi korban sistem
kemunafikan dalam lembaga pendidikan yang seharusnya didirikan untuk menjadi
wadah perubahan dan pencetak para cendikia.
“Tolong
lah… Bu. Anak-anak kita tak akan bisa lulus jika mereka harus mengerjakan soal
itu sendiri”,
“Kasihan
mereka Bu, sebagai guru, inilah yang kita bisa berikan bagi mereka”.
Ya.
Satu pertolongan terakhir bagi anak-anak pulau yang lebih gemar bermain dan
melaut ketimbang belajar. Toh, mereka semua akan lulus juga. Lihatlah lah
coreng moreng itu sekarang. Di tempat ini, mereka malah dibimbing untuk berlaku
curang. Salahkah anak-anak itu jika moral mereka terus terdegradasi, di tempat
etika seharusnya berlaku mutlak, mereka malah menemukan pelecehan terhadap
etika moral dan kejujuran diinjak blak-blakan.
Semua
kobaran kemarahan dan idealisme itu padam seperti tersiram air dingin. Aku
benci melihat diriku bersusah payah mengerjakan soal-soal sialan itu. Seribu
kali!!! Mau jadi apa siswa-siswa itu? Kabupaten yang ingin namanya harum
mengambil jalan pintas berbagai rupa. Hemh! Lihat saja jalan yang sudah
disediakan itu, berubah menjadi semak belukar. Jalan pintas itu kini sudah
serupa jalan tol, lengkap dengan pintu, penjaga dan tarifnya. Kemanakah jalan
itu menuju? Ke dunia luar yang memang persis seperti inilah keadaanya, kurang
lebih. Apakah cara-cara yang diterapkan memang sudah tepat, mengingat
setamatnya mereka dari sekolah, mereka akan terjun dan berbaur dalam
masyarakat. Mereka sudah kami ajarkan untuk mengenal kata ‘kompromi’ dan kami
didik untuk memahami dengan pasti bahwa ‘tidak ada peraturan yang tidak bisa
dilanggar’. Dan trik untuk mencapai sukses dalam hidup.. yaitu… ‘jangan melawan
arus’. Mereka juga sudah kami bekali dengan rumus untuk bisa bertahan dalam
dunia nyata ‘kejujuran hanya dipakai seperlunya saja’. Karena begitulah yang
marak mereka lihat di televisi, jika channel favorit mereka yang menayangkan
sinetron kebetulan sedang iklan dan mereka melewati saluran tv yang
terus-menerus memutarkan berita. Karena begitulah yang terjadi di indonesia.
Hidup
memang pilihan, dan aku sudah memilih untuk ikut terlibat dalam permainan ini.
Hanya karena aku tak mau didiskualifikasi karena melanggar peraturan yang sudah
ditetapkan, play unfair. Menyadari kalau ternyata aku tidak cukup tangguh untuk
bisa berkata ‘tidak’, membungkam suara yang biasa kuteriakkan… aku pun tak jauh
berbeda.
Pendidikan
harus selalu menyesuaikan dengan perubahan jaman, itulah yang sedang berlaku
saat ini. Bagaimana pendidikan moral bisa diterapkan jika moral para
pendidiknya saja masih patut dipertanyakan. Bukan gaji yang besar yang
dibutuhkan, tapi jiwa yang berkali-kali lipat lebih besar untuk bisa bertahan
dalam profesi ini dan tetap waras. Pelan-pelan… aku sudah mulai membenci
anak-anak ini. Di mataku, mereka adalah kertas buram dan lusuh. Bukan kertas
putih yang masih kosong yang bisa dicat warna-wani pelangi. Aku mendadak
kehilangan kemampuanku untuk melihat sisi putih dari legam kulit mereka. Anak-anak
itu sudah menjadi kriminil sejak masih di sekolah dasar. Menyalahkan keluarga
dan lingkungan mereka adalah yang kami lakukan disini. Bukan perasaan seperti
ini yang ingin aku rasakan ketika memutuskan untuk mengikuti program sm3t.
Ottokhe… bagaimana dengan hatiku. Bagaimana dengan idealismeku. Bagaimana nasib
pendidikan negeri ini kelak? Tempat ini punya kekuatan untuk membangkitkan
seluruh sisi negatifku. Kini aku hanyalah seorang guru yang pesimis dan apatis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar