Rabu, 15 April 2015

PAGAR ALAM KOTA YANG MENYIMPAN MASA LALU










Pagar Alam kota yang terhampar di perbukitan tinggi, diapit gunung Dempo dan pegunungan Bukit Barisan yang membujur hampir sepanjang pulau Sumatra. Kota Pagar Alam dapat ditempuh dari kota Palembang dengan bus trans Sumatra dengan jarak tempuh kurang lebih 7 jam. Jalanan berlekuk-liku membelah hutan tropis, memberi pemandangan hijau dan cukup eksotis. Diperjalanan itu, sesekali kita akan bertemu kota kabupaten, kota kecamatan dan desa-desa yang diisi rumah-rumah penduduk bercorak tradisi. Rumah-rumah panggung dari kayu berwarna kelam kecoklatan, rumah besar yang ditopang oleh tiang-tiang setinggi kurang lebih 150-200 cm. Dibawah rumah-rumah panggung itu pula sering digunakan untuk menyimpan peralatan tani, kayu bakar bahkan hewan ternak. Secara keseluruhan terasa sekali nuasana tradisi. Namun hal semacam itu ternyata masih tak dapat menghindar dari gempuran budaya modern, hal ini ditandai dengan bulatan jaring besar bernama antena parabola, sebagai satu-satunya media penyampai saluran televisi.
Jika kita berangkat dari kota Lahat, maka dalam 2 – 3 jam kemudian kita akan sampai pada kota Pagar Alam yang sejuk dan cukup ramai. Kota yang “cantik” ini terletak di kaki gunung Dempo, gunung Gumai dan pegunungan Bukit Barisan. Setelah memisahkan diri dari kab. Lahat, Pagar Alam menjadi kota mandiri artinya berganti status menjadi kota Kabupaten Pagar Alam yang memiliki luas wilayah 633 km2. Wilayah yang cukup luas ini sebagian besar terdiri dari hutan, perkebunan teh dan kopi.
Masyarakat sering menyebut sebagai wilayah Basemah (Pasemah). Secara historis wilayah ini meliputi wilayah Lahat, wilayah Pagar Alam hingga menyentuh wilayah Bengkulu (Pahiangan dan Rejang Lebong) yang ada di pegunungan “Bukit Barisan”. Basemah (Pasemah) memiliki ciri-ciri budaya yang spesifik, unik dan menarik. Hal ini dapat diamati dalam karakter masyarakatnya mulai dari bahasa yang digunakan, logat bertutur, tata sosial, hasil seni dan budaya serta tatanan etika dan religi yang tertanam dalam kearifan lokalnya (local genius).
Beberapa tahun lalu, Pemerintahan Pagar Alam secara resmi telah mendaftarkan 67 situs Megalitikum-nya ke Unesco untuk dapat ditetapkan sebagai kota cagar budaya (heritage). Secara faktual tak dapat dipungkiri bahwa wilayah Pagar Alam (juga wilayah kab. Lahat) menyimpan ratusan situs megalitikum yang tersebar di berbagai tempat. Situs-situs tersebut pernah diteliti dan ditulis oleh Mr. Van Der Hoop, seorang antropolog berkebangsaan Belanda. Laporan penelitiannya dibukukan dengan judul “Megalithic Remains In South Sumatra – 1932).
Kebudayaan Megalitikum merupakan hasil dari budaya zaman Neolithikum, yang menyerap peradaban awal jaman logam. Jaman ini kemudian dikenal dengan masa perundagian yang mulai ditandai mulai ditemukannya logam, kapak, pahat dan lain-lain dalam bentuk yang paling sederhana (+/- 2500 tahun SM). Kebudayaan Megalithikum di Pagar Alam (dan Lahat) dapat kita lihat secara riil dalam bentuk Menhir, makam batu, rumah batu, Dolmen, punden berundak dan batu tegak (Kosala), altar batu (batu ceper) dan lain-lain.
Batu-batu besar dalam berbagai bentuk inilah yang menurut para ahli dimaksudkan sebagai sarana ritual. Dalam hal ini para ahli sependapat bahwa di dalam rumah batu yang banyak tersebar itulah nenek moyang kita melakukan kegiatan ritualnya. Ritual yang dimaksud adalah suatu aktifitas yang dilakukan terkait masalah misteri kehidupan dan kematian. Pada umumnya dalam kebubayaan megalithikum selalu berorientasi pada aspek-aspek kepercayaan atau supranatural dengan kekuatan-kekuatan gaibnya yang ada pada benda-benda, mahluk hidup bahkan roh nenek moyang (Haris Sukendar, 2003:27) Dengan demikian, pada masa kebudayaan Megalithikum di masyarakat Basemah (Pasemah) dapat ditafsirkan telah menjalani satu peradaban yang cukup canggih dan kokoh, sehingga sampai hari ini jejak-jekak peradaban tersebut masih dapat kita telusuri.
Wilayah Basemah (Pasemah) yang meliputi wilayah Lahat, Pagar Alam dan Bengkulu, rasanya memang pantas dijadikan sebagai wilayah cagar budaya dengan mempertimbangkan begitu banyaknya situs sejarah yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita pada masa lalu. Sebut saja situs Kubur Batu di areal perkebunan kopi desa Talang Pagaragung, Kecamatan Fajar Bulan, kabupaten Lahat. Atau situs Arca Manusia dan Dolmen di desa Tegur Wangi Lama, kab. Pagar Alam yang berupa 4 arca manusia berciri khas Basemah. 4 Arca batu ini terletak di tengah-tengah sawah penduduk dan tak jauh dari sungai kecil serta sebuah rumah batu. Adapun ciri-siri situs ini (situs Basemah) adalah berbentuk manusia bertubuh tambun, bibir tebal, hidung pesek dan mata besar melotot.
Satu hal yang menarik apabila dicermati pada situs-situs yang tersebar di wilayah Pagar Alam ini yakni hampir seluruhnya menghadap ke arah gunung Dempo. Semisal situs di Tanjung Aro dalam bentuk batu berukir “Manusia digulung Ular” dan juga situs di desa Tegur Wangi Lama “arca manusia purba dan dolmen”. Mengamati situs batu bercorak “manusia digulung ular (naga)” di Tanjung Aro, mengingatkan penulis pada kisah pewayangan Bima Ruci, yakni “carangan” cerita Mahabharata yang diyakini mengandung nilai-nilai filosofi sebagaimana ditulis R.Ng. Yasadipura I. Dalam kisah itu, jelang perang mahabharata, atas perintah resi Durna, tokoh Bima diminta untuk mencari “air prawita”, air yang diyakini dapat membuat manusia kebal dan terhindar dari kematian. Untuk hal itu Bima akhirnya berupaya mendapatkannya sekalipun tidak mudah. Letak penyimpanan air tersebut konon di dasar samudra. Namun hal itu tidak menyurutkan keberanian seorang Bima. Segera saja Bima menyelam di dasar samudra, namun kemudian mendapatkan rintangan dari seekor naga yang perkasa. Di situlah terjadi pertarungan yang sengit antara Bima dan ular Naga yang akhirnya dimenangkan oleh Bima.
Dalam berbagai bentuk kebudayaan Jawa yang terpengaruh Hindu, akan kita dapati cerita atau ilustrasi Bima digubat seekor Naga di tengah lautan. Dalam perkembangan selanjutnya kisah itu kemudian dipengaruhi oleh kebudayaan Islam dan sering pula ditafsirkan serta menjadi acuan bagi pengikut ajaran Tasawuf (Islam kejawen ?).
Pada situs Tanjung Aro,“manusia digulung ular” apakah dapat ditafsirkan demikian? Kalau dapat ditafsirkan demikian berarti situs ini dibuat sebelum jaman Kerajaan Sriwijaya yang berjaya dengan agama Buddha. Pada catatan Raffles, ( dalam buku berjudul “Sumatra Tempoe Doeloe” karangan Anthony Reid, Komunitas Bambu, Depok, 2010: hal 210), dituliskan expedisi Raffles ke bekas kerajaan Pagarruyung menemukan arca Hindu yang dipahat sangat indah. Artinya di wilayah Sumatra jaman dahulu sebelum jaman Sriwijaya kemungkinan sudah berkembang agama Hindu. Kalau demikian halnya, maka situs Tanjung Aro (“manusia digulung ular”) jelas menyiratkan kisah Dewa Ruci, karena itu situs ini dihadapkan ke gunung Dempo yang dalam tradisi Hindu setiap gunung adalah wujud kahyangan tempat para Dewa bersemayam di bumi.
Mengakhiri tulisan ini, penulis meyakini bahwa wilayah Lahat, Pagar Alam, Bengkulu pantas menjadi wilayah cagar budaya yang menarik dan dapat kita promosikan sebagai asset pariwisata nasional dan dunia yang bermutu tinggi. Semoga!

Tidak ada komentar: